Sunday, July 12, 2009

Etnis Tionghoa di Sepakbola Indonesia

Kancah sepakbola Indonesia pernah mencatat nama-nama legendaris pemain sepakbola keturunan Tionghoa yang berprestasi bagi tim nasional Indonesia. Bahkan sejak masih bernama Hindia Belanda pemain keturunan Tionghoa tersebut telah turut memperkuat timnas sepakbola kita. Di ajang Piala Dunia 1938 terdapat nama-nama seperti penjaga gawang Tan Mo Heng, Pan Hong Tjien, Hu Kon dan Tan Siong Houw.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada dekade 1950-an para pemain Tionghoa juga kerap memperkuat timnas Indonesia diantaranya Kwee Kiat Sek dan Tan Liong Houw. Di dekade 1960 dan 1970-an nama-nama seperti Atjong, Ng Che Kwang, Harry Tjong, Mulyadi dan Surya Lesmana cukup akrab ditelinga para penggemar bola ditanah air. Prestasi yang mereka torehkan bersama timnas tidak main-main, terbukti era 1950 hingga 1970-an adalah masa emas bagi pesepakbolaan Indonesia. Timnas kita pada era tersebut mampu lolos ke Olimpiade Melbourne 1956, Semifinalis Asian Games 1956, peringkat ke-3 Asian Games 1958 dan hampir lolos ke Piala Dunia 1978 ditambah sederet gelar dikancah regional seperti Aga Khan Cup di India, Merdeka Games di Malaysia dan Pesta Sukan di Singapura. Suatu prestasi yang tidak mampu diulangi lagi hingga kini oleh timnas sepakbola Indonesia.
Namun sejak akhir dekade 1970-an dan awal 1980-an pemuda keturunan Tionghoa seperti kehilangan minat pada sepakbola, mereka cenderung memilih tenis, bulutangkis dan bola basket sebagai ajang olahraga yang digelutinya. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah dimasa lalu yang kerap mendiskriminasikan etnis Tionghoa diberbagai bidang kehidupan termasuk diantaranya di arena olahraga. Sepakbola saat itu dianggap sebagai cabang olahraga yang nampaknya hanya pantas dimainkan oleh warga pribumi saja. Efek dari kebijakan diskriminatif tersebut terasa hingga saat ini dimana tidak ada lagi warga etnis Tionghoa yang mau bermain sepakbola dikancah nasional. Hal ini sungguh disayangkan mengingat prestasi para pesepakbola nasional dimasa lampau terbukti sangat baik dan mampu berkontribusi maksimal bagi timnas Indonesia.
Sepakbola sendiri sebagai olahraga rakyat dan paling populer ditanah air dianggap mampu menjadi salah satu alat perekat bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Terbukti para pesepakbola Indonesia saat ini berasal dari berbagai suku, etnis dan agama. Namun sayangnya hingga saat ini warga keturunan Tionghoa nampaknya belum tergerak lagi untuk menekuni sepakbola. Nampaknya perlu usaha yang lebih serius dan intensif lagi dari PSSI untuk kembali menggairahkan minat untuk menjadi pesepakbola dikalangan etnis Tionghoa. Tidak perlu lagi ada diskriminasi di arena sepakbola karena sesungguhnya inti dari sepakbola atau olahraga pada umumnya adalah menjunjung tinggi semangat sportivitas dan menghilangkan semua perbedaan saat para pemain masuk ke dalam lapangan.

Fenomena Juara Dunia

Kegagalan Italia di Piala Konfederasi 2009 bulan Juni lalu membuat banyak pihak mempertanyakan kapasitas tim ini untuk mempertahankan gelar juara dunianya tahun depan. Prestasi Italia pasca menjadi juara dunia 2006 memang merosot drastis. Di ajang Euro 08 Italia dengan susah payah hanya mampu mencapai babak perempatfinal. Kini setelah kembali ditangani Marcello Lippi permainan tim Azzuri juga nampaknya tidak banyak mengalami perubahan.
Fenomena kegagalan suatu tim Juara Dunia untuk mempertahankan gelar juaranya empat tahun berikutnya memang tidak dapat dipungkiri. Faktanya hanya Brazil tahun 1958 dan 1962 yang terakhir kali mampu mempertahankan titel juara dunianya. Setelah itu tidak ada satu negara pun yang mampu mempertahankan gelar juara yang telah diraihnya. Menurut saya hal ini disebabkan oleh perkembangan permainan sepakbola itu sendiri yang kian pesat dari waktu ke waktu. Perkembangan teknik, taktik maupun fisik yang kini didukung oleh teknologi makin membuat sepakbola kian kompetitif dari hari ke hari.
Hal ini yang membuat seorang pemain sepakbola modern perlu waktu yang lebih lama untuk menjadi matang dalam memainkan olahraga terpopuler dikolong jagat ini. Terbukti para pemain sepakbola kini mencapai puncak performanya saat berusia antara 27 hingga 29 tahun. Menariknya jika kita cermati maka suatu tim juara dunia memiliki skuad yang mayoritas diisi oleh pemain yang tengah mencapai usia keemasan mereka.
Namun ironisnya hal ini membuat sebuah tim seringkali kesulitan mempertahankan gelar juaranya empat tahun berikutnya karena otomatis usia para pemain pada saat itu akan melebihi 30-an tahun. Pada usia tersebut para pemain senior tersebut akan kelihatan kehabisan “bensin” menghadapi para pemain yang lebih muda. Para pelatih timnas pun nampaknya terjebak pada ungkapan “don’t change the winning team” sehingga mereka cenderung mempertahankan skuad senior tersebut dibandingkan menggantinya dengan pemain yang lebih fresh.
Tercermin dari skuad Italia di Piala Konfederasi lalu, nama-nama seperti Cannavaro, Zambrotta, Grosso, Pirlo, Gattuso, Toni dan Camoranesi yang membawa Italia juara Dunia 06 masih tetap menghuni skuad Azzuri meskipun mereka semua sudah berusia lebih dari 30 tahun. Akibatnya tim Italia terlihat kepayahan saat bertemu dengan lawan yang lebih muda dari mereka. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi Marcello Lippi untuk meremajakan skuadnya agar tidak terpuruk lagi di Afsel 2010.

Sunday, July 5, 2009

Cristiano Ronaldo

Kesuksesan Cristiano Ronaldo menjadi pemain termahal dunia dengan nilai transfer hampir Rp 1,3 triliun memang menunjukkan bahwa pemain terbaik dunia tahun 2008 itu mempunyai kualitas yang istimewa. Permainan Ronaldo memang amat menawan di atas lapangan hijau, hal inilah yang membuat Florentino Perez, bos Real Madrid kepincut setengah mati padanya. Namun ada satu hal yang menarik jika kita mencermati perjalanan karir Ronaldo selama ini.
Ronaldo yang permainannya amat dipuja itu ternyata hanya sanggup bersinar dengan klubnya saja namun saat membela timnas Portugal, terbukti Ronaldo belum dapat berprestasi apapun juga. Kala timnas Portugal dilatih Luis Felipe Scolari, tim ini berhasil menembus babak final Euro 2004, semifinalis Piala Dunia 2006 dan perempat final Euro 2008. Namun sayangnya, kala timnas Portugal berprestasi begitu bagus kiprah Ronaldo sendiri ditimnas nyaris tidak kelihatan. Performa Ronaldo tertutupi oleh gaya permainan Scolari yang lebih mementingkan kerjasama dan kekompakan dalam tim.
Terbukti juga ditahun 2008 kala Ronaldo bersama Man. United mampu menjadi jawara Premier League, Champions League serta mampu menyabet Sepatu Emas Eropa dan Pemain Terbaik Dunia 2008, performa Ronaldo justru turun drastis kala membela timnas Portugal di Euro 2008. Kini saat Portugal ditukangi oleh Carlos Queiroz yang notabene mantan asisten Fergie di MU, penampilan Ronaldo juga tak kunjung membaik bersama timnas. Queiroz bahkan secara khusus meminta Ronaldo untuk bermain apik bagi timnas seperti kala membela klubnya dikancah liga. Buruknya performa Ronaldo berimbas pada terpuruknya prestasi Portugal saat ini di Pra Piala Dunia 2010 zona Eropa dimana mereka hanya menempati peringkat ketiga digrup dan terancam gagal lolos ke Afsel tahun depan.
Ronaldo memang pemain terbaik dan termahal didunia, namun apalah artinya jika ia justru gagal mengangkat prestasi timnasnya sendiri.
Ronaldo nampaknya harus belajar dari tahun 2006 dimana saat itu prestasi Ronaldinho amat mengkilap bersama El Barca. Ronaldinho mampu membawa Barca menjadi kampiun La Liga dan Liga Champions 2005/2006 namun setelah itu Ronaldinho justru tampil buruk dikancah Piala Dunia Jerman 2006. Timnas Brazil hanya mampu menembus perempatfinal dan penampilan Ronaldinho sendiri sangat buruk sehingga dihujat oleh publik di Brazil. Akibatnya saat pemilihan pemain terbaik dunia 2006, Ronaldinho justru kalah dari Fabio Cannavaro yang berhasil membawa timnas Italia menjadi juara dunia.
Selain itu Ronaldo juga nampaknya harus melihat kembali pada sosok maha bintang Diego Maradona yang dengan kharisma dan kemampuannya mampu “sendirian” menghantar Argentina menjadi juara dunia 1986, runner-up PD 1990 dan membawa Napoli menguasai Serie-A diakhir 1980-an meskipun ia hanya dikelilingi oleh rekan-rekan setim yang kualitasnya semenjana.

Kutukan Semifinalis Piala Dunia

Ada satu hal yang nampaknya menjadi “kutukan” bagi para tim semifinalis Piala Dunia (PD). Kutukan tersebut adalah tidak lolosnya salah satu dari dua tim semifinalis PD yang kalah saat babak semifinal ke ajang PD empat tahun berikutnya. Kutukan ini dimulai pada era-80’an dimana saat itu sepakbola telah beralih dari gaya permainan klasik menjadi permainan sepakbola yang lebih modern seperti saat ini.
Semifinalis PD 1982, Belgia yang menduduki tempat ketiga diajang yang diselenggarakan di tanah Spanyol tersebut ternyata gagal menembus babak penyisihan untuk mengikuti Pra PD 1986. di PD 1986 Meksiko sendiri, salah satu semifinalisnya yaitu Prancis juga gagal menembus babak kualifikasi untuk ikut PD 1990 di Italia. Sedangkan saat PD 1990 di Italia, Inggris yang saat itu dikalahkan Italia saat perebutan tempat ketiga ternyata juga gagal lolos ke ajang PD empat tahun berikutnya di Amerika Serikat.
Kutukan semifinalis ternyata tidak berhenti disini saja, saat PD 1994 Swedia berhasil merebut posisi ketiga namun kemudian gagal mengikuti ajang PD berikutnya di Prancis tahun 1998. Saat digelarnya PD 1998 di Prancis, Belanda yang dilatih Guus Hiddink berhasil menembus babak semifinal namun kenyataannya tim Oranye ini kembali gagal lolos ke ajang PD 2002 di Korea-Jepang.
Pada PD 2002 di Korea – Jepang, kesebelasan Turki mengejutkan dunia dengan berhasil meraih posisi ketiga. Namun saat digelar Pra PD 2006, Turki ternyata melempem dan gagal ikut serta ke ajang turnamen terakbar sepakbola dunia tersebut. Di PD 2006, Portugal dibawah asuhan Luiz Scolari kembali berhasil menembus babak semifinal setelah terakhir lolos semifinal PD tahun 1966 saat masih diperkuat Eusebio. Tetapi kini nasib Cristiano Ronaldo cs. semakin tidak jelas di penyisihan Pra PD 2010 zona eropa. Tim Portugal hanya menempat posisi ketiga digrupnya dan tertinggal jauh dari pemuncak klasemen. Hal ini membuat posisinya terancam untuk gagal lolos ke Afsel 2010. Hal ini nampaknya semakin memperkuat kutukan abadi semifinalis PD yaitu salah satu dari dua tim semifinalis yang kalah alias tim yang memperebutkan posisi ketiga dan empat pasti gagal lolos ke ajang PD empat tahun berikutnya.

Ronaldinho = Rivaldo

Sangat menarik untuk mencermati kiprah dua pemain terbaik dunia asal Brazil, Ronaldinho dan Rivaldo. Cukup banyak persamaan dalam karir sepakbola keduanya. Kedua pemain ini sama-sama mengantar Brazil menjadi juara dunia 2002 saat Piala Dunia diadakan di Korea – Jepang. Kedua pemain ini mencapai puncak karir sepakbolanya diklub asal Catalan, Barcelona. Rivaldo menjadi pemain terbaik dunia tahun 1999 sedangkan Ronaldinho dua kali menjadi pemain terbaik dunia tahun 2004 dan 2005. Berbagai gelar telah ditorehkan keduanya bagi El Barca namun saat prestasinya anjlok kedua pemain ini seperti “dibuang” begitu saja dari skuad inti Barcelona.
Rivaldo lantas hijrah ke serie-A untuk bermain bagi AC Milan dimusim 2002. Ironisnya prestasinya lantas terjun drastis karena tidak bisa beradaptasi dengan gaya permainan tim asal kota mode tersebut. Hanya dua musim membela Milan, Rivaldo terpaksa harus pindah ke klub asal Yunani Panathinaikos diawal musim 2005/2006. Hampir sama dengan Rivaldo, sang mahabintang Ronaldinho juga pindah ke Milan pasca merosotnya performa permainannya bersama El Barca. Namun kepindahannya yang menghebohkan diawal musim 2008/2009 ternyata tidak berujung pada performa impresif diatas lapangan hijau. Ronaldinho hanya menawan diawal musim untuk selanjutnya lebih sering menjadi penghangat bangku cadangan. Kondisi fisik yang tidak prima ditengarai menjadi penyebab buruknya penampilan Ronaldinho di Milan.
Di musim keduanya bersama Milan, layak ditunggu penampilan Ronaldinho dengan seragam merah-hitam. Banyak pihak yang kini menggantungkan harapan besar dipundak Ronaldinho mengingat Milan baru saja ditinggal ikon mereka Ricardo Kaka ke Madrid. Selain itu pelatih anyar Milan yang juga berasal dari Brazil, Leonardo Nascimento telah bertekad untuk mengembalikan kejayaan Ronaldinho. Jika saja penampilan Ronnie masih buruk dimusim depan bukan tidak mungkin ia akan kembali mengikuti jejak Rivaldo yang terpaksa harus tersingkir dari Milan.