Sunday, June 28, 2009

Mereka Yang Terbaik

Pelatih-pelatih top masa kini mengidamkan punya tim seperti Brazil di Piala Dunia 1970. Dalam pikiran mereka, inilah tim sepakbola terbaik yang pernah ada.
Fantasi, ofensif, penuh skill, dan tidak terbendung. Kesempurnaan bak menjadi milik Pele dkk. Gelar tim abad ini pun sangat pantas diberikan kepada Selecao. Dengan evolusi sepakbola taktis yang berkembang saat ini, terulangnya legenda mungkin sulit terealisasi.
Disamping Brazil 1970, masih ada formasi terbaik yang lain. Dari The Magic Magyars Hongaria 1954 hingga Total Football yang diperagakan Belanda tahun 1974. Setelah itu, maaf saja, sebutan setengah matang layak disematkan pada tim-tim yang dianggap terbaik di masa kini.

Hongaria 1954
Magic Magyars membawa revolusi formasi 4-2-4, prototipe Brazil empat tahun kemudian. Tim ini berisi paling tidak lima pemain terbesar yang pernah ada: Ferenc Puskas, Sandor Kocsis, Nandor Hidengkuti, Zoltan Czibor dan Jozsef Bozsik. Dengan kualitas begitu tinggi, rekor tak terkalahkan selama empat tahun menjadi wajar.

Brazil 1958
Pele menyebut inilah tim paling berbakat yang pernah dimiliki Brazil. Begitu banyak individu-individu hebat disini. Mulai dari Garrincha, Didi,Vava dan Mario Zagalo. Bahkan lini belakang terbaik juga ada di tim ini. Dari kiper Gilmar hingga bek Djalma dan Nilton Santos. Bakat luar biasa membuat formasi fleksibel, bisa 4-2-4 atau 4-3-3.

Brazil 1970
Superb dan stylish dengan basis pola 4-3-3. Kunci kehebatan tim ini adalah lini depan yang begitu kuat. Angka rata-rata untuk pertahanan jadi tidak berarti karena Brazil selalu mencetak gol lebih banyak dari lawan. Tiga pemain kidal hebat: Gerson, Rivelino serta Tostao melengkapi kedahsyatan Pele dan Jairzinho.

Belanda 1974
A new brand of football (merk baru sepakbola). Belanda adalah tim pertama yang menguasai Total Football yang diperkenalkan Hongaria pada era ’50-an. Dipimpin oleh Johan Cruijff di depan, Johan Neeskens di tengah dan Ruud Krol di belakang, mereka secara konstan mengubah posisi dan membuat bingung lawan. Inti dari strategi adalah kemmapuan setiap pemain memainkan posisi apapun.

Kuartet Maut

Dunia sepakbola nampaknya akrab dengan istilah trio atau tiga pemain dalam satu tim yang mampu mengangkat permainan timnya hingga dapat berprestasi maksimal. Namun banyak yang belum mengetahui bahwa ada juga istilah kuartet atau empat serangkai yang juga mampu berkontribusi amat baik bagi timnya. Berikut ini adalah beberapa contoh kuartet maut yang amat terkenal dalam dunia sepakbola.
Yang pertama adalah kuartet lini tengah timnas Prancis dipertengahan tahun 1980-an yaitu Luis Fernandez, Alain Giresse, Jean Tigana dan Michel Platini. Kuartet ini mampu mengantar Prancis menjadi juara Euro 1984 dan semifinalis Piala Dunia (PD) 1986.
Kedua, kuartet lini pertahanan AC Milan diakhir era 80-an dan awal 90-an. Mereka adalah Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta dan Mauro Tassotti, keempatnya membawa Milan menjadi Dream Team dikancah Serie-A dan Eropa. Selain itu di timnas Azzuri prestasi puncak kuartet ini adalah saat membawa Italia menjadi runner-up PD 1994 di AS.
Ketiga, adalah empat pemain lini tengah Man United di akhir era 90-an yang mengukir prestasi puncak membawa MU menjadi rajanya Premiere League dan meraih Treble ditahun 1999. Pelatih jenius Sir Alex Ferguson ternyata mampu meramu Roy Keane, David Beckham, Ryan Giggs dan Paul Scholes menjadi punggawa andalan dilini tengah MU kala itu.
Yang keempat adalah kuartet lini belakang timnas Prancis yaitu Laurent Blanc, Marcell Desailly, Bixente Lizarazu dan Lilian Thuram. Apabila keempatnya bermain bersama timnas Ayam Jantan Prancis mengukir rekor sempurna tidak pernah terkalahkan. Prestasi puncak mereka adalah menjadi juara PD 1998, Euro 2000 dan Piala Konfederasi 2001.
Terakhir datang dari timnas Spanyol. Dunia sepakbola kini tengah terkagum-kagum pada permainan ciamik tim matador tersebut. Gaya permainan menyerang dipadu dengan pertahanan kuat, stamina prima dan kualitas teknik yang mengagumkan amat menyita perhatian khalayak sepakbola. Permainan cantik ini tentu saja dimungkinkan dengan adanya kuartet dilini tengah tim matador saat ini yaitu Xavi Hernandez, Marcos Senna, Andres Iniesta dan David Silva. Merekalah kreator dari permainan Spanyol hingga mampu menjuarai Euro 2008 dan tidak terkalahkan hingga lebih dari 30 pertandingan internasional.

Catenaccio

Sistem ini dikembangkan oleh pelatih berkebangsaan Argentina, Helenio Herrera di klubnya Internazionale Milan pada dekade 1960-an.
Inti dari sistem catenaccio adalah memperkuat barisan belakang dengan menempatkan seorang “libero / sweeper” di belakang tiga atau empat pemain belakang.

Saat Bertahan
Libero mendukung pemain belakang, menghadang striker lawan atau menghalau total bola yang lolos ke daerah pertahanan. Kunci sistem ini adalah sentuhan dan kedisiplinan pemain saat bertahan.

Saat Menyerang
Libero dapat maju menusuk ke daerah pertahanan lawan begitu pula bek kiri dan kanan. Sementara bek tengah hanya sampai setengah lapangan.

Ciri khas lain dari sistem catenaccio adalah serangan balik yang cepat dengan memanfaatkan kelengahan lawan yang tengah menyerang. Penyerang Italia seolah “ditakdirkan” untuk mampu mengoptimalkan peluang sekecil apapun untuk menjadi sebuah gol sehingga memunculkan istilah “one chance one goal.”

Karena menempatkan seorang libero dibelakang tiga atau empat pemain bertahan lainnya yang berdiri sejajar maka sistem catenaccio hampir tidak pernah mempergunakan perangkap off-side dalam menghalau serangan lawan.
Perkecualian dalam hal ini terjadi saat lini pertahanan AC Milan diakhir dekade ’80-an dan awal ’90-an menggunakan sistem pertahanan gerendel ala catenaccio dengan seorang libero yaitu Franco Baresi dibelakang tiga pemain bertahan lainnya yaitu Paolo Maldini, Alessandro Costacurta dan Mauro Tassotti yang berdiri sejajar didepannya.
Namun secara luar biasa kuartet pertahanan Milan ini mampu menggabungkan secara sempurna sistem pertahanan kuno ala catenaccio dengan sistem pertahanan modern dengan perangkap off-side. Hal ini cukup beresiko mengingat seorang libero harus berdiri jauh dibelakang rekan lainnya. Apabila tidak terjalin komunikasi maupun pengertian yang baik antar pemain, sang libero akan selalu terlambat naik untuk menjebak off-side pemain lawan.

Thursday, June 25, 2009

Kiper Serie-A

Ada sebuah fenomena unik yang terjadi pada klub-klub papan atas Serie-A Italia beberapa musim terakhir yaitu kecenderungan tim-tim tersebut untuk memakai kiper asing. Italia yang selama ini terkenal sebagai gudangnya kiper-kiper lokal yang berkualitas serta keengganan klub Serie-A untuk memakai kiper asing menyebabkan sangat sulit bagi seorang kiper asing untuk menjadi portiere utama diklub-klub Italia. Pada era 90-an maupun awal 2000-an tentu kita akan sangat jarang melihat kiper asing beraksi di Serie-A. Namun hal ini tidak berlaku lagi akhir-akhir ini, seiring dengan globalisasi persepakbolaan dunia membuat semua pemain dapat saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik.
Kita sekarang tentu tidak lagi aneh melihat klub Serie-A memakai kiper asing menjadi kiper utama di starting elevennya seperti Dida, Brasil (AC Milan), Julio Cesar, Brasil (Inter Milan), Alexander Doni, Brasil (AS Roma), Sebastian Frey, Prancis (Fiorentina), Nestor Muslera, Argentina (Lazio) dan Robinho, Brasil (Genoa).
Ironisnya kiper terbaik Italia saat ini seperti Marco Amelia, Morgan de Sanctis, dan Matteo Sereni justru malah bermain di klub medioker Serie-A bahkan kiper sekelas Christian Abbiati harus rela dipinjamkan ke berbagai klub akibat kalah bersaing dengan Dida di AC Milan. Selain itu cadangan Gianluigi Buffon di Juventus yaitu Alex Manninger juga seorang kiper asing asal Austria. Tentu saja fenomena ini menjadikan persaingan antar penjaga gawang di Serie-A menjadi lebih menarik serta kompetitif untuk dinikmati.

Ronaldo Luiz Nazario

Kepindahan Ronaldo ke AC Milan pertengahan musim 2006/2007 lalu sangat menarik perhatian. Mantan pemain terbaik dunia tiga kali ini mungkin akan menjadi satu-satunya pemain dalam sejarah yang pernah bermain untuk dua tim rival sejati di dua liga utama sepakbola. Pada musim 1996/1997 Ronaldo pernah bermain selama semusim di Barcelona, selang lima tahun kemudian pada musim 2002/2003 Ronaldo kembali lagi ke La Liga Primera untuk bermain bagi rival abadi sekaligus musuh bebuyutan Barcelona yaitu Real Madrid.
Sedangkan di Serie-A Italia, Ronaldo pernah bermain selama 5 musim bagi Inter Milan meskipun lebih banyak bergelut dengan cedera lutut yang dideritanya. Akhirnya pada pertengahan musim 2006/2007 Ronaldo kembali merumput di Serie-A dan bermain bagi rival sekota Inter yaitu AC Milan setelah ia merasa disia-siakan oleh manajemen Madrid dan pelatih Fabio Capello. Inilah yang menjadikan Ronaldo sebagai pemain unik yaitu pernah bermain bagi dua rival abadi di dua liga utama sepakbola.
Hal ini membuktikan bahwa Ronaldo tetap menjadi magnet bagi dunia persepakbolaan internasional. Meskipun kerap dilanda cedera dan kini dianggap kelebihan berat badan tetapi semua hal itu dapat ditutupinya dengan talenta sepakbola luar biasa yang dimilikinya. Keistimewaannya inilah yang membuat namanya tetap menjadi incaran klub sepakbola papan atas di Eropa dan tidak tergusur oleh popularitas pemain-pemain muda kini mendominasi jagat persepakbolaan dunia

Franz Beckenbauer

Semua penggemar sepakbola pasti mengenal sosok Franz Beckenbauer. Ia adalah salah satu pemain terbesar yang pernah membela tim Panser Jerman. Kesuksesan Beckenbauer ternyata tidak hanya ketika menjadi seorang pemain, pada saat telah pensiun sebagai pemain ia juga mampu berprestasi di luar lapangan.
Kesuksesan pertama Beckenbauer di luar lapangan terbukti ketika ia sebagai pelatih mampu membawa Jerman menjadi juara dunia tahun 1990 di Italia padahal saat itu ia masih belum berpengalaman menjadi pelatih serta baru pertama kalinya melatih suatu kesebelasan. Ditingkat klub ia juga sukses mengantar Bayern Muenchen menjadi jawara Bundesliga dan juara Piala UEFA tahun 1996. Kesuksesan berikutnya Der Kaizer adalah saat berada dibelakang layar Bayern Muenchen, hingga kini Beckenbauer masih menjabat sebagai Presiden klub Bavaria tersebut. Bersama Beckenbauer, Muenchen mampu merebut hampir semua gelar domestik maupun Eropa termasuk juara Liga Champions 2001.
Kesuksesan Beckenbauer terus berlanjut saat ia dipercaya untuk menjadi ketua panitia Piala Dunia 2006 yang dilangsungkan di Jerman. Terbukti PD 2006 mampu berjalan secara sukses dan memuaskan semua pihak. Semua kesuksesan diatas memang layak menjadikan Beckenbauer sebagai salah satu sosok yg paling sukses berkiprah di dunia pesepakbolaan sepanjang masa.

Tuesday, June 23, 2009

Nyawa Total Football

Total Football dapat juga disebut sebagai sebuah jenis baru sepakbola. Walau semua pemain punya peran sama penting,tetap saja beberapa nama mencuat saat menyebut tim Belanda era 1970-an.

Pertahanan
Ruud Krol adalah kunci pertahanan Belanda. Tapi, dia juga piawai melakukan serangan hingga ke kotak penalti lawan. Sementara itu, Wim Suurbier dikenal menakutkan lawan saat ia melakukan serangan balik.
Formasi: Jan Jongbloed (kiper), Wim Jansen, Wim Suurbier, Ruud Krol, Wim Rijsbergen

Gelandang:
Johan Neeskens adalah pengendali permainan yang memiliki kemampuan berlari menjelajahi semua area. Sementara itu, si pintar Willem van Hanegem membuktikan dirinya sebagai mesin yang menstabilkan permainan tim. Arie Haan selalu diwaspadai karena tendangan jarak jauhnya yang bertenaga.
Formasi: Johan Neeskens, Willem van Hanegem, Arie Haan

Penyerang:
Dalam susunan formasi Johan Cruyff selalu ditempatkan sebagai penyerang tengah. Tapi, pemain ini sesungguhnya tak punya posisi baku. Ia kerap beroperasi ditengah atau sayap guna membangun serangan. Johnny Rep bermain lebih ke tengah dan Rob Rensenbrink selalu siap muncul untuk menyambut bola-bola hasil racikan teman-temannya.
Formasi: Johan Cruyff, Johnny Rep, Rob Rensenbrink

Pelatih;
Rinus Michels (9 Februari 1928 – 3 Maret 2005)

Mengenal Total Football

Total Football adalah sebuah sistem permainan agresif ketika seorang pemain yang meninggalkan posisinya segera diganti oleh pemain lain. Tak ada tempat kosong dalam formasi permainan yang katanyamulai dicoba oleh Hongaria pada era 1950-an ini.
Total Football hanya dapat diperagakan oleh sebuah tim yang memiliki pemain dengan keahlian individu serta fisik yang prima dan taktik brilian plus mental dan kepercayaan pada rekan. Pasalnya setiap pemain bisa menjadi striker, gelandang dan bek.
Banyak yang menyebut Jack Reynolds, pelatih Ajax Amsterdam pada awal abad ke-20 adalah peletak dasar total football. Salah satu pemainnya bernama Rinus Michels,yang kemudian mengembangkan konsep permainan agresif tersebut.
Michels akhirnya dikenal sebagai arsitek total football ketika Ajax yang dilatihnya di penghujung 1960-an hingga awal 1970-an menampilkan sepakbola penuh gairah. Ada juga yang menyebutnya sebagai Father of Total Football. Sang Jenderal, julukan Michels memiliki muridyang berhasil meneruskan sepakbola menawan, namanya Johan Cruyff.

Komentar Ruud Krol
“ Saat berlatih, kami selalu membicarakan ruang gerak. Ketika bertahan, jarak antara kami semua harus sangat dekat. Saat menyerang, kami segera menyebar dan mempergunakan lebar lapangan.
Kondisi kami harus 100% untuk bisa tetap kuat selama 90 menit. Hal ini dibantu sistem. Jika saya bek kiri berlari sejauh 70 meter, tidaklah baik kalau saya harus segera kembali ke posisi awal. Jadi, ketika gelandang kiri mengambil posisi saya, bek kiri mengisi tempat si gelandang. Hal ini akan mempersempit ruang gerak lawan.”

Football Marketing

Dunia olahraga kini khususnya di sepakbola tidak lagi hanya mengejar menang-kalah ataupun sebuah tropi kejuaraan. Sepakbola kini telah berkembang menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan. Dengan popularitasnya sebagai olahraga terpopuler di jagat ini maka sepakbola mempunyai market yang sangat besar dan potensial untuk dikelola lebih lanjut. Hal ini nampaknya makin disadari khususnya oleh klub-klub besar di daratan Eropa yang kini tengah melebarkan sayapnya ke seantero dunia. Salah satu cara yang ditempuh oleh klub-klub tersebut adalah merekrut pemain yang populer di daerah tertentu dengan maksud agar popularitas klub tersebut dapat terangkat di daerah tersebut bila mereka memiliki pemain itu, selain juga tidak bisa dikesampingkan akan kebutuhan klub tersebut terhadap kontribusi dari pemain bersangkutan. Dengan begitu mereka berharap bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dari penjualan merchandise maupun hak siar dapat terus meningkat.
Beberapa contoh yang dapat disebutkan disini adalah Hidetoshi Nakata saat direkrut oleh Perugia pada musim 1998/1999 yang berakibat pada melonjaknya permintaan akan kostum maupun merchandise lainnya dari Perugia di Jepang. Kesuksesan Perugia saat merekrut Nakata kemungkinan besar mengilhami klub lain di Erops untuk berbuat hal yang serupa. Hal ini diikuti oleh Real Madrid dengan merekrut David Beckham pada musim 2002/2003 tidak bisa dilepaskan dari unsur bisnis. Disinyalir kubu El Real sangat mengincar wilayah Asia sebagai target market mereka berikutnya dan hal ini dapat didukung dengan popularitas Beckham yang ternyata sangat luar biasa di wilayah ini. Manchester United pernah merekrut pemain muda Cina Dong Fangzhuo dan pemain Korsel Park Ji Sung, pihak MU tentu saja berharap selain si pemain ini mampu berpestasi baik di kubu Setan Merah, juga kemungkinan besar pihak MU berpikir bahwa salah satu cara merebut kembali hati para penggemarnya di Asia adalah dengan merekrut seorang pemain yang berasal dari wilayah yang menjadi target mereka.
Mega transfer yang kembali dilakukan El Real awal musim ini dengan mendatangkan Cristiano Ronaldo dan Kaka juga turut membuktikan teori ini. Ronaldo dan Kaka adalah pesepakbola terpopuler dikolong jagat saat ini. Dengan fakta tersebut nampaknya El Real yakin mampu memaksimalkan popularitas keduanya melalui penjualan replika kostum, merchandise dan pendapatan berbagai produk iklan serta sponsor. Inilah wajah pesepakbolaan modern yang telah berubah menuju sebuah industri yang tidak hanya berorientasi prestasi namun juga berorientasi kepada profit

Sunday, June 21, 2009

Pengaruh Johan Cruyff

Sosok Johan Cruyff adalah legenda sepakbola yang sangat berpengaruh baik ketika menjadi pemain maupun ketika menjadi pelatih. Pengaruhnya telah dirasakan oleh tim Oranje Belanda dan Ajax Amsterdam di era 70-an ketika Cruyff sebagai kapten kesebelasan berhasil mempopulerkan total football ke seantero jagat dan membawa Belanda mejadi runner-up Piala Dunia 1974 serta membawa Ajax merajai pesepakbolaan di kancah Eropa. Ketika menjadi pelatih, Cruyff pun mampu membawa Barcelona menjadi tim yang disegani di Eropa. Kini ketika telah tidak aktif lagi baik sebagai pemain maupun pelatih, sosok Cruyff tetap disegani dan berpengaruh baik untuk bekas klub yang dilatihnya Barcelona maupun di tim Oranje Belanda.
Hal ini dapat terlihat pada tahun 2004 ketika timnas Belanda akan mencari pelatih baru untuk menukangi tim tersebut, pihak KNVB merasa perlu berkonsultasi dan meminta pertimbangan dari Cruyff tentang sosok pelatih yang pas bagi tim Oranje. Dan Cruyff inilah yang akhirnya merekomendasikan Marco Van Basten menjadi pelatih tim Oranje hingga saat ini. Tidak berhenti disitu, sang pelatih baru Van Basten juga merasa perlu berkonsultasi dengan Cruyff mengenai pola permainan yang akan dipakai tim Belanda. Pola 4-3-3 yang diperagakan tim Oranje juga merupakan usulan dari Johan Cruyff.
Tidak hanya di Belanda, contoh dari betapa kuatnya pengaruh Johan Cruyff terasa di Barcelona saat sang wakil presiden Sandro Rossell merasa bahwa pekerjaannya di tim Catalan tersebut terintervensi oleh Cruyff karena Presiden Barcelona Joan Laporta terasa lebih banyak menyetujui usulan yang diberikan oleh Cruyff meskipun Cruyff sendiri tidak berada dalam jajaran kepengurusan Barcelona. Dari kesemua hal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sosok legendaris Johan Cruyff memang mempunyai kharisma dan pengaruh yang luar biasa bagi kebanyakan orang baik ketika ia masih aktif di lapangan hijau maupun ketika tidak lagi menjabat sebagai pelatih sebuah tim.

Krisis Kepelatihan Inggris

Keputusan Chelsea untuk menunjuk Carlo Ancelotti yang merupakan pelatih asal Italia sebagai pelatih klub elit Premier League tersebut, menunjukkan bahwa Inggris kini tengah mengalami krisis yang luar biasa dalam masalah kepelatihan. Sebelumnya pada 2008, FA juga menunjuk pelatih asal Italia Fabio Capello sebagai pelatih timnas Inggris. Nampaknya, baik klub Premier League dan bahkan FA sendiri sudah tidak lagi mempercayai para pelatih dari dalam negeri untuk melatih klub dan timnas Inggris. Nama-nama tenar seperti Glenn Hoddle, Terry Venables, Bobby Robson, Steve McClaren maupun Kevin Keegan dianggap sebagai cerminan para pelatih lokal terbaik yang ada di Inggris saat ini namun selalu gagal bila menangani sebuah tim.
Krisis ini bisa pula tercermin bila melihat klub-klub papan atas Premiere League lainnya yang semuanya dilatih oleh pelatih asing seperti Man Utd ( Alex Ferguson, Skotlandia ), Arsenal ( Arsene Wenger, Prancis), Liverpool ( Rafael Benitez, Spanyol) maupun Chelsea (Carlo Ancelotti, Italia). Bahkan klub medioker di Premiere League kini juga turut latah menggunakan jasa pelatih asing seperti Everton (David Moyes, Skotlandia), Aston Villa (Martin O’Neill, Irlandia), Manc. City (Mark Hughes, Wales) dan West Ham (Gianfranco Zola, Italia). Jika melihat hal diatas maka tidaklah mengherankan apabila krisis kepelatihan di tingkat klub merembet juga kepada timnas Inggris.
Tidak adanya regenerasi pelatih-pelatih muda ditambah lagi tidak adanya peningkatan kualitas dari para pelatih lokal tengah terjadi saat ini di dataran Inggris. Bila dibandingkan dengan negara-negara raksasa sepakbola lainnya baik yang terdapat di Eropa maupun Amerika Latin seperti Prancis, Spanyol, Italia, Jerman, Belanda, Brazil, dan Argentina bisa dibuktikan bahwa hanyalah Inggris yang menggunakan pelatih asing untuk menangani timnasnya. Hal ini patut menjadi perhatian serius bagi insan pesepakbolaan Inggris agar kualitas pelatih serta pesepakbolaan Inggris tidak lagi stagnan seperti saat ini. Perbaikan-perbaikan yang signifikan amat diperlukan bagi para pelatih lokal di Inggris saat ini.

La Liga di Serie-A

Serie-A seolah ditakdirkan untuk jadi ‘kuburan’ bagi pemain-pemain alumnus Primera Liga Spanyol. Para pemain yang menjadi bintang ketika bermain di Primera Liga justru tampil buruk saat hijrah ke Italia dan bermain di Serie-A. Contoh teranyar adalah Ronaldinho mantan bintang Barcelona dan dua kali pemain terbaik dunia 2004 dan 2005, ia justru tampil mengecewakan karena penurunan kondisi fisik serta lebih banyak duduk di bangku cadangan. Hal yang serupa terjadi pada Luis Figo, mantan pemain terbaik dunia 2001 saat membela Real Madrid, juga tidak menjadi pilihan utama di Inter Milan dan hanya menjadi penghangat bangku cadangan.
Rivaldo yang juga terpilih menjadi pemain terbaik Dunia 1999 saat membela Barcelona hanya sanggup bertahan dua musim di Milan untuk kemudian hijrah ke Olympiakos, Yunani. Ronaldo Luiz Nazario, pemain yang menjadi 3 kali pemain terbaik dunia tahun 1996,1997, dan 2002 hanya menawan dimusim pertamanya bersama Inter Milan untuk kemudian lebih banyak berurusan dengan cedera lututnya sampai akhirnya harus meninggalkan Inter untuk kembali lagi ke Spanyol. Ketika Ronaldo ingin mencoba peruntungannya lagi dikancah serie-A dengan bergabung bersama rival sekota Inter yaitu AC Milan karirnya lagi-lagi terhambat masalah cedera lututnya.


Selain para pemain beken diatas masih terdapat nama-nama seperti Gaizka Mendieta dan Claudio Lopez dua mantan pemain Valencia ini gagal meneruskan kegemilangannya saat memperkuat Lazio, selain itu mantan pemain Valencia lainnya Kily Gonzalez serta mantan pemain Real Madrid Santiago Solari juga hanya menjadi cadangan abadi saat memperkuat Inter Milan. Mantan pemain muda harapan Spanyol serta Barcelona, Ivan de La Pena juga pernah gagal menampilkan penampilan terbaiknya saat memperkuat Lazio pada dekade 90-an lalu. Ricardo Oliveira mantan pemain Real Betis yang diharapkan mampu menjadi pengganti sepadan bagi Andriy Shevchenko di Milan ternyata melempem saat semusim memperkuat Milan ditahun 2005/2006. Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa tipe permainan di Primera Liga Spanyol memang tidak cocok untuk diterapkan oleh para pemain alumnusnya yang bermain di Serie-A Italia.

Saturday, June 13, 2009

Jangan Gadaikan Senayan

Terkejut sekali melihat pemberitaan di Metro TV pada hari Jumat siang (12/6/09) pukul 13.30 yang mengabarkan bahwa kawasan Gelora Bung Karno, Senayan akan dijadikan jaminan atau agunan bagi penerbitan surat hutang syariah negara (SUKUK). Uang hasil penjualan SUKUK ini menurut rencana akan digunakan untuk menambal defisit APBN yang kian hari kian mengkhawatirkan. Apabila hal ini benar terjadi maka peristiwa tersebut merupakan tamparan keras bagi dunia olahraga Indonesia pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Seperti kita semua ketahui bahwa GBK sudah menjadi landmark bagi kota Jakarta bahkan Indonesia karena menjadi kawasan olahraga bertaraf internasional satu-satunya hingga saat ini. GBK didirikan oleh Presiden Soekarno dalam rangka Asian Games 1962, selain itu Bung Karno juga menginginkan sebuah bangunan yang nantinya akan menjadi kebanggaan nasional bagi bangsa dan negara. GBK dibangun dari APBN yang merupakan uang rakyat Indonesia, selain itu ribuan penduduk asli Senayan rela digusur demi menyukseskan proyek pembangunannya. Berbagai peristiwa penting baik olahraga maupun bidang yang lain telah berhasil ditorehkan ditempat tersebut. Maka tidaklah mengherankan bahwa GBK menjadi sebuah tempat yang sarat nilai-nilai historis bagi bangsa dan negara.
Dari sisi lain memang banyak berita negatif seputar kawasan GBK mulai dari kesimpangsiuran pengelolaan, adanya indikasi kasus korupsi hingga proses pengalihan lahan menjadi area bisnis. Kawasan GBK memang terletak dijantung kota Jakarta dan merupakan kawasan yang sangat menguntungkan dari segi bisnis sehingga menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya disana.
Hal ini pula yang nampaknya disadari oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan dalam menilai aset GBK. Seperti pemberitaan Metro TV tersebut, pemerintah nampaknya saat ini tengah kebingungan untuk mencari aset penjaminan yang punya nilai setara bagi penerbitan SUKUK. Hanya sedikit aset pemerintah saat ini yang mempunyai nilai cukup ideal dan salah satu aset tersebut adalah kawasan GBK. Oleh sebab itu pemerintah melalui Depkeu menjadikan GBK sebagai salah satu opsi untuk dijadikan agunan bagi investor dari Timur Tengah.
Yang menjadi masalah adalah apabila pemerintah tiba-tiba dinyatakan bangkrut dan tidak mampu membayar hutangnya seperti tahun 1997-1998 bukan tidak mungkin sang investor akan mengambil alih aset GBK yang telah dijaminkan sebelumnya. Tidaklah mustahil para investor tersebut akan mengubah fungsi area GBK karena nilai ekonominya yang sangat menggiurkan. Jangan terkejut jika nantinya area GBK akan menjadi hutan beton penuh dengan hotel, mall dan plasa, apartemen, dan gedung perkantoran. Tidak akan ada lagi kompleks olahraga yang bisa dibanggakan bagi rakyat Indonesia. Untuk mencegah mimpi buruk ini terjadi hendaknya pemerintah lebih hati-hati dalam memilih aset yang akan dijadikan agunan dan tidak menjadikan kawasan yang sangat vital dan penuh nilai historis seperti GBK hanya demi menutupi defisit APBN semata. APBN memang penting bagi sebuah perekonomian negara namun lebih penting lagi untuk menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa.

Belajar Dari Spanyol

Spanyol adalah salah satu tim terbaik saat ini di dunia. Catatan prestasi timnas Spanyol amat mentereng dua tahun belakangan. Juara Euro 08, peringkat satu FIFA, meraih hasil sempurna di kualifikasi PD 2010, tidak terkalahkan dalam lebih dari 30 pertandingan adalah prestasi anak-anak matador ini.begitu pun dilevel klub, dimana Barcelona baru saja meraih treble di musim 2008/2009. Sepakbola Spanyol harus diakui tengah berada dipuncaknya kini.
Pertanyaannya kini mengapa Indonesia harus belajar dari Spanyol? Ada satu fakta menarik bahwa timnas Spanyol kini diisi oleh pemain-pemain bertubuh mungil sebut saja Xavi Hernadez, Andres Iniesta, Cesc Fabregas, David Silva, David Villa dan bahkan sang kapten Carles Puyol yang berposisi sebagai centre-back rata-rata bertinggi badan antara 170-175cm. dengan tinggi badan seperti ini secara teori para pemain Spanyol akan kesulitan berkompetisi dikancah Eropa yang didominasi pemain dengan tinggi tubuh menjulang. Namun kekurangan ini dapat ditutupi mereka dengan skill tinggi, kerjasama tim yang mumpuni serta determinasi yang tinggi.
Kejayaan timnas Spanyol dimulai saat mereka dilatih oleh Luis Aragones pada 2006. Pelatih dengan karakter keras dan cenderung otoriter ini ternyata mampu meredam masalah klasik yang menghantui timnas Spanyol selama ini. Masalah tersebut adalah adanya persaingan antar etnis Catalan yang didominasi pemain Barcelona dan etnis Castilian yang mayoritas adalah pemain Real Madrid. Persaingan melegenda puluhan tahun antar kedua klub ini ternyata terbawa hingga ke timnas yang berakibat pada memanasnya situasi antar pemain. Hal inilah yang ditengarai menjadi pemicu utama kegagalan yang selalu terjadi pada timnas Spanyol setelah terakhir menjadi juara Piala Eropa 1964.
Aragones dengan gayanya yang keras dan kontroversial ternyata mampu meredakan ketegangan pemain antar kedua etnis tersebut. Selain itu Aragones mampu menyuntikkan semngat nasionalisme yang selama ini dinilai telah hilang dalam diri para pemain Spanyol.Hal inilah yang akhirnya memicu munculnya kemampuan terbaik dari para pemainnya saat berada dilapangan, selain itu kerjasama tim dan suasana tim sendiri berada dalam kondisi yang amat harmonis. Hal ini terbukti saat Spanyol mampu merebut juara Euro 08 dan cantiknya permainan timnas Spanyol hingga kini.
Beralih ke timnas Indonesia. Sudah sewajarnya timnas Indonesia mampu meniru yang dilakukan timnas Spanyol saat ini. Dengan tinggi badan pemain timnas Indonesia yang hampir sama dengan pemain timnas Spanyol sudah sepatutnya para pemain timnas meninggalkan rasa minder yang selama ini menghantui mereka kala bertemu dengan lawan yang punya tinggi badan diatas rata-rata. Ihwal tinggi badan sebagai faktor penyebab buruknya prestasi timnas selama ini hingga jarang berprestasi dikancah internasional harus segera dihapus sekarang juga.
Selain itu timnas juga harus segera mampu menemukan seorang pelatih yang berkarakter seperti Aragones di Spanyol. Hal ini penting mengingat pemain timnas Indonesia sendiri berasal dari berbagai suku dan ras yang tersebar dipenjuru Nusantara. Masing-masing suku dan ras pasti mempunyai karakternya sendiri. Hal inilah yang harus dicermati oleh pelatih timnas mendatang agar ego para pemain dapat ditekan sehingga mau bermain untuk tim secara keseluruhan. Selain itu semangat nasionalisme yang ditengarai telah lama pudar dalam diri pemain timnas juga patut untuk dikobarkan kembali.
Contoh paling pas dalam hal ini adalah pemain asal Papua. Daerah paling timur Nusantara itu dikenal sebagai gudangnya pesepakbola handal di Indonesia. Klub asal Papua seperti Persipura terbukti telah mampu dua kali menjuarai ajang Ligina dan pemain asal Papua tersebar diberbagai klub di Indonesia. Namun ironisnya pemain asal Papua justru hanya sedikit yang mampu secara konsisten berprestasi untuk timnas. Hal ini mungkin disebakan oleh perbedaan kultur yang amat mencolok terjadi antara pemain Papua dan pemain timnas lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Pemain Papua ditengarai punya sifat tertutup, minder dan mudah home-sick saat memperkuat timnas.
Oleh sebab itu figur pelatih timnas akan sangat penting kedepannya. Diperlukan sosok yang keras, disiplin, nasionalis dan pintar memotivasi pemain agar segala macam perbedaan yang terjadi dalam tubuh timnas tidak lagi terjadi. Pelatih tersebut tidak perlu terlalu pintar berstrategi didalam lapangan karena para pemain sepakbola Indonesia pada dasarnya punya bakat alam yang luar biasa sehingga sempat dijuluki “Brazil”nya Asia. Jika kondisi pemain harmonis baik didalam maupun luar lapangan secara otomatis kemampuan terbaik para pemain akan keluar dengan sendirinya sehingga tugas pelatih mengatur strategi tidaklah menjadi terlalu berat. Apabila hal ini terwujud kedepannya diharapkan pesepakbolaan Indonesia mampu kembali bangkit dan berprestasi diajang internasional.

Blunder Kiper

Piala Dunia merupakan ajang tertinggi bagi para pemain sepakbola di seantero jagat ini. Di ajang inilah para pesepakbola berharap dapat menampilkan performa terbaiknya. Namun bagi beberapa orang kiper legendaris, ajang Piala Dunia sekaligus menjadi akhir yang menyedihkan bagi karir gemilangnya selama ini di timnas masing-masing. Sebagai contoh:
1. Kiper legendaris Inggris, Peter Shilton harus mengakhiri karirnya sebagai penjaga gawang dengan blundernya saat perebutan tempat ketiga PD 1990 melawan Italia. Bola yang dikuasainya berhasil direbut Roberto Baggio sehingga berakibat gol yang menyebabkan kekalahan Inggris dari Italia.
2. Masih dari Inggris, David Seaman melakukan blunder fatal saat mengantisipasi tendangan bebas Ronaldinho saat perempatfinal PD 2002 melawan Brasil. Pertandingan tsb juga menjadi ajang perpisahan bagi Seaman di timnas Inggris.
3. Kiper eksentrik Kolombia Rene Higuita harus membayar mahal kebiasaannya menggiring bola hingga tengah lapangan saat melawan Kamerun pada perdelapanfinal PD 1990 yang berakibat pada terciptanya gol kedua Kamerun oleh Roger Milla.
4. Andoni Zubizaretta harus mengakhiri dengan tragis karirnya di timnas Spanyol saat membuat gol “bunuh diri” ketika melawan Nigeria dibabak penyisihan grup PD 1998 di Prancis.
5. Bodo Illgner yang membawa Jerman menjuarai PD 1990 dicemooh sebagai biang keladi kekalahan timnya saat ia tak mampu menghalau dua gol Bulgaria saat perempatfinal PD 1994 di AS. Setelah pertandingan tersebut Illgner tak pernah lagi dipanggil timnas Jerman meskipun penampilannya masih memikat di tingkat klub dengan salah satu prestasinya adalah mengantar Real Madrid menjadi juara Champions 1998.
6. Nery Pumpido yang empat tahun sebelumnya menjadi pahlawan saat mengantar Argentina menjadi juara PD 1986, harus kehilangan tempatnya sebagai kiper utama Argentina oleh Sergio Goycochea di pertandingan pembuka PD 1990 ketika melawan Kamerun karena gagal menghalau gol semata wayang yang juga menjadi gol kemenangan Kamerun di pertandingan tersebut.
7. Yang paling akhir adalah kesalahan Oliver Kahn saat tercipta gol Ronaldo hingga berakibat pada kekalahan timnya dari Brasil di final PD 2002. Namun beruntung bagi Kahn ia masih dipercaya mengawal gawang Jerman pada PD 2006 meskipun hanya berstatus sebagai pemain cadangan.

Friday, June 12, 2009

Menanti Boaz

Sungguh fenomenal anak muda dari Sorong, Papua yang bernama Boaz Solossa. Di usianya yang masih amat belia ia sudah mempersembahkan berbagai gelar terhormat bagi klubnya Persipura mulai dari dua kali juara liga, pemain terbaik hingga pencetak gol terbanyak. Hebatnya lagi semua prestasinya itu ditorehkan melalui perjuangan yang amat berliku diantaranya dua kali hantaman cedera diengekel kaki kanannya saat memperkuat timnas. Namun trauma cidera itu dapat dilewatinya dengan luar biasa melalui torehan prestasi dilapangan hijau.
Kini publik sepakbola Indonesia menantikan kiprah Boaz untuk mengangkat prestasi timnas. Hal ini tentulah tidak mudah bagi Boaz mengingat dua kali cidera parahnya didapat saat memperkuat timnas. Sedikit banyak pasti masih ada trauma yang tersisa bagi diri Boaz pribadi. Memperkuat timnas senior pada usia masih sangat belia 17 tahun saat Piala Tiger 2004 merupakan prestasi fenomenal tersendiri bagi Boaz. Namun sayangnya Boaz nampaknya justru belum maksimal saat memperkuat timnas junior.
Saat ajang Sea Games 2005, Boaz tak dapat memperkuat timnas karena mendapat skorsing dari komdis PSSI sedangkan saat Sea Games 2007 ia terkena cedera saat memperkuat timnas senior. Kini pada bulan Desember 2009 nanti akan kembali diselenggarakan Sea Games di Laos dan nama Boaz kembali tercantum dalam daftar pemain untuk timnas U-23.
Sea Games Laos nanti dipastikan akan menjadi Sea Games pertama dan terakhir bagi Boaz. Khalayak amat menanti peran Boaz bagi timnas yang sudah tidak merasakan gelar juara Sea Games sejak 1991. Patut ditunggu apakah Boaz mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya bagi timnas seperti saat ia memperkuat Persipura dan juga apakah ia mampu menghilangkan trauma bermain bagi timnas. Boaz memang menjadi andalan bagi timnas dan harapan publik sepakbola Indonesia untuk menuntaskan dahaga gelar juara selama 18 tahun terakhir.

Pengorbanan Kaka

Ada satu hal menarik yang harus kita cermati dibalik kepindahan Kaka ke Real Madrid. Kepindahan Kaka pada dasarnya disebabkan karena krisis keuangan yang tengah melanda Milan saat ini. Harga jual Kaka yang mencapai 913 miliar rupiah akan digunakan manajemen Milan untuk melunasi utang klub tersebut.
Seandainya Kaka adalah pemain yang “mata duitan” ia tentunya sudah menerima pinangan dari Manchester City pertengahan musim lalu yang menawar dengan harga diatas 1 triliun rupiah. Namun Kaka tak bergeming, selain itu Milan sendiri tengah memburu zona liga Champions di Serie A setelah gagal masuk ajang tersebut pada musim sebelumnya. Amatlah tidak elok jika Kaka meninggalkan Milan dipertengahan musim saat rekan-rekan setimnya tengah berjuang demi klub mereka.
Saat musim 2008/2009 berakhir Kaka akhirnya memutuskan untuk pindah ke Real Madrid. Petinggi Milan dan juga Kaka sendiri nampaknya sepakat bahwa hanya dengan uang transfer hasil kepindahannya ke Madrid-lah sebagian utang Milan dapat terbayar. Legenda hidup Milan Paolo Maldini sampai mengatakan bahwa Kaka telah berkorban banyak bagi Milan. Hal ini amat wajar mengingat Milan-lah yang membawa Kaka dari Sao Paolo, Brazil pada tahun 2003 saat ia masih bukan siapa-siapa. Milan pula yang menjadikan Kaka mahabintang seperti saat ini.
Kini saat Milan sekali lagi membutuhkan jasa dari anak emasnya itu, Kaka rela pindah ke Madrid demi meringankan beban Milan. Jadi kepindahan Kaka harus juga dilihat sebagai faktor kecintaan yang amat dalam dari Kaka bagi Milan untuk menyelamatkan klubnya itu dari kebangkrutan.

Tuesday, June 9, 2009

Data Statistik PSSI

Sangat ironis sekali melihat data-data yang tersedia mengenai pesepakbolaan Indonesia. Di Eropa maupun di negara-negara Asia yang telah maju pesepakbolaannya seperti Jepang dan Korea Selatan, kita akan dengan mudah mengetahui mengenai jumlah pertandingan yang telah dimainkan seorang pesepakbola, jumlah gol yang telah dihasilkannya, klub yang pernah ia bela maupun data-data lain yang relevan mengenai diri si pemain yang bersangkutan, baik ketika ia membela klubnya maupun ketika ia membela negaranya. Hal ini masih ditambah lagi dengan tersedianya data-data statistik yang berhubungan dengan pertandingan yang telah berlangsung ataupun yang sedang berlangsung seperti ball possession, jumlah pelanggaran yang dilakukan, jumlah passing yang gagal maupun yang berhasil, ataupun jumlah tackling yang dilakukan oleh seorang pemain. Data-data statistik semacam ini, di negara-negara yang maju pespekbolaannya telah dikumpulkan serta diolah sedemikian baiknya sehingga kita dapat mengetahui data-data mengenai sepakbola yang kita inginkan bahkan untuk masa puluhan tahun yang lalu.
Hal semacam inilah yang tidak kita temui saat ini di Indonesia, kita tidak akan pernah disajikan data mengenai berapa kali seorang pemain bermain untuk suatu klub tertentu maupun untuk timnas Indonesia, berapa gol yang pernah ia hasilkan, maupun data-data statistik lainnya yang relevan. Kondisi ini dapat terlihat ketika seorang profil pemain ditampilkan maka data yang dapat kita lihat hanya data klub yang pernah ia bela tanpa diikuti oleh data-data statistik yang lain yang lain. Oleh sebab itu, untuk lebih mendukung terciptanya kondisi pesepakbolaan Indonesia yang lebih baik lagi diperlukan semacam bank data mengenai pesepakbolaan Indonesia baik yang dibentuk oleh PSSI sendiri maupun yang dibentuk oleh media massa di Indonesia. Apabila kondisi semacam ini dapat tercipta maka keuntungan yang dapat diperoleh akan sangat besar sekali. Bagi penggemar sepakbola ia dapat mengakses data-data yang ia inginkan kapanpun dan tersedia secara akurat, hal ini juga berlaku bagi media massa yang menginginkan informasi semacam itu. Bagi klub, mereka dapat memantau perkembangan seorang pemain ataupun data mengenai klubnya sendiri ataupun data mengenai rivalnya secara spesifik. Untuk kepentingan timnas, pelatih timnas akan dapat dengan mudah memantau perkembangan para pemain nasional sehingga ia dapat memilih pemain dengan kualitas yang baik.

From Good to Great

Dalam istilah bahasa Inggris ada perbedaan tipis antara kata Good dan Great. Kata Good berarti baik atau bagus sedangkan Great berarti terbaik atau paling baik. Menarik sekali jika kita membandingkan kedua kata ini dengan dua pemain hebat asal argentina, Diego Maradona dan Lionel Messi. Banyak orang kini yang membandingkan kehebatan antara kedua pemain ini. Memang banyak kemiripan antara keduanya namun menurut saya ada hal besar yang membedakan keduanya.
Maradona adalah seorang pemain besar atau bisa disebut juga terbaik atau terbesar (Great). Dia mampu sendirian membawa timnas Argentina menjadi juara dunia 1986 dan runner-up PD 1990. Dia juga mampu membawa Napoli sebuah klub yang sebelumnya tidak dikenal menjadi jawara Italia pada dekade 80 dan 90-an. Bahkan dia dianggap sebagai dewa disana dan namanya masih dikenang hingga kini. Dan terbukti tanpa Maradona prestasi timnas Argentina dan Napoli merosot drastis hingga saat ini.
Sedangkan Lionel Messi hingga saat ini masih dianggap seorang pemain yang bagus atau baik (Good). Dia memang mampu membawa Barcelona juara Liga Spanyol dan Liga Champions, namun prestasi itu didukung oleh pemain hebat lainnya yang ada diskuad Barcelona kini. Begitu pula dikancah timnas, prestasi terbaik Messi adalah menjadi juara Olimpiade bersama timnas U-23 Argentina, namun pada saat bersama timnas senior terbukti Messi gagal bersinar saat Piala Dunia 2006 dan Piala Amerika 2005 dan 2007. Piala Dunia 2010 di Afsel tahun depan nampaknya akan menjadi ajang pembuktian diri bagi Messi apakah ia mampu setidaknya menyamai prestasi sang dewa Maradona untuk mengantar Argentina menjadi juara dunia. Menariknya, timnas Argentina kini justru dilatih langsung oleh Maradona. Menarik untuk ditunggu apakah Maradona mampu mengantar sang duplikat untuk mencapai kejayaannya di ajang terakbar sepakbola sejagat itu.

Character is Everything

Character is everything. Karakter adalah segalanya begitulah ungkapan yang sering dikutip pakar manajemen ketika membahas mengenai keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini nampaknya berlaku pula dalam dunia kepelatihan sepakbola. Banyak pelatih mumpuni, kenyang pengalaman melatih, punya dasar teori kepelatihan yang baik namun justru gagal mengantar klub asuhannya ke tangga juara. Ketidakberuntungan para pelatih tersebut lebih disebabkan karena kurangnya karakter kepemimpinan mereka dalam tim sehingga tidak mampu mengoptimalkan potensi para pemain.
Contoh yang paling baik mengenai hal ini adalah Claudio Ranieri. Beliau adalah salah satu pelatih senior di Italia. Pernah menangani Fiorentina, Valencia, Chelsea dan kini Juventus. Namun ironisnya klub-klub yaang pernah dilatihnya tidak pernah sekalipun mencapai prestasi puncak menjadi juara liga atau juara di ajang eropa. Juventus musim ini pun kian tertinggal dari Inter di Serie-A dan telah tersingkir dari Liga Champions. Selain Ranieri ada pula sosok Hector Cuper. Mantan pelatih Mallorca, Valencia dan Inter Milan ini bahkan sampai mendapat julukan Mister Runner-up karena selalu gagal membawa klub asuhannya juara disaat-saat akhir kompetisi. Valencia dibawanya dua kali berturut-turut menjadi runner-up Liga Champions tahun 2000 dan 2001 begitu pula saat di Inter yang hanya bisa diantarnya menjadi runner-up Serie-A.
Di ajang Bundesliga ada sosok Klaus Toppmoeller mantan pelatih Bayern Leverkusen yang juga menjadi spesialis runner-up bersama klubnya saat membawa Leverkusen menjadi runner-up Liga Champions 2002 dan juga runner-up diajang kompetisi Bundesliga. Ditanah Inggris kita mengenal Steve McCLaren mantan asisten Alex Ferguson di MU yang justru gagal total ketika menangani Middlesbrough dan juga timnas Inggris. The Boro tidak juga beranjak dari klub medioker di Premiership dan hanya menjadi nomor dua di Piala UEFA tahun 2005/2006 sedangkan saat menangani timnas Inggris, McClaren terbukti gagal membawa Inggris lolos kualifikasi Euro 2008. Dari contoh diatas memang dapat disimpulkan bahwa karakter dari seorang pelatih amat menentukan dalam keberhasilan klub yang diasuhnya.